Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting, artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adalah pajak. Oleh karenanya, pajak perlu dikelola secara seksama dengan meningkat peran serta seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat perpajakan sendiri.

Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan Negara.

Untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dari berbagai sumber penghasilan antara lain kekayaan alam, barang-barang yang dikuasai oleh pemerintah, denda-denda, atau warisan yang diberikan kepada Negara, hibah, wasiat, dan iuran masyarakat kepada Negara berdasarkan undang-undang (dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi yang dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran).

Perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif yaitu sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya secara optimal. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah dan Wajib Pajak. Wajib Pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin, karena dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan Wajib Pajak. Dilain pihak pemerintah memerlukan dana untuk membiayai pengeluaran dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, yang sebagian besar berasal dari penerimaan pajak. Adanya perbedaan kepentingan tersebut menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak baik secara legal maupun ilegal. Karena untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dari berbagai sumber penghasilan kekayaan alam, hasil usaha BUMN, barang-barang yang dikuasai pemerintah, denda-denda, atau warisan yang diberikan kepada negara, hibah, wafat, dan iuran masyarakat kepada Negara berdasarkan undang-undang (dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi yang dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran).

Peran serta Wajib Pajak dalam sistem pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya rencana penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang optimal dapat dilihat dari berimbangnya tingkat penerimaan pajak aktual dengan penerimaan pajak potensial atau tidak terjadi tax gap. Menurut James yang dikutip oleh Gunadi (2005, p. 4) menyatakan bahwa: “Besarnya tax gap mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak (tax compliance)”. Oleh karena itu, kepatuhan Wajib Pajak merupakan faktor utama yang mempengaruhi realisasi penerimaan pajak. Kepatuhan yang dimaksudkan merupakan istilah tingkat sampai dimana Wajib Pajak mematuhi undang-undang perpajakan dan memenuhi bidang perpajakan. Misal jika Wajib Pajak membayar dan melaporkan pajak terutangnya tepat waktu, maka Wajib Pajak dapat dianggap patuh.

Sejalan dengan reformasi perpajakan (tax reform) tahun 1983 yang menghasilkan perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemungutan pajak (dari official assessment menjadi self assessment system ), dimana dalam hal ini Wajib Pajak lah yang harus aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, mulai dari mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan pajaknya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) nya.

Sistem perhitungan dan penetapan jumlah pajak terutang meliputi (1) self assessment system (wajb pajak menghitung sendiri pajaknya), (2) official assessment (wajib pajak menyampaikan informasi objek pajaknya, kemudian administrasi pajak menghitung utang pajak), (3) hybrid system (campuran antara self dan official assessment dengan berbagai kombinasinya). Informasi keuangan yang dihasilkan proses pembukuan diperlukan untuk keperluan menghitung pajak terutang dan vertiksi, serta pemeriksaan investigasi terhadap kebenaran penghitungan jumlah utang pajak itu.

Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak, maka selayaknya diimbangi dengan adanya pengawasan yang diberikan tidak disalahgunakan. Ini menjadikan tugas Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan pajak setiap Wajib Pajak menjadi berkurang. Dalam prinsip self assesment system, penentuan besarnya pajak terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri melalui Surat Pemberitahuan ( SPT ) yang disampaikan.

Tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini khususnya yang sangat menonjol sesuai dengan fungsinya adalah melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan, dan pelayanan dalam hubungan dengan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku.

Fungsi Pengawasan sebagai salah satu tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak pada dasarnya meliputi kegiatan penelitian dan pemeriksaan di bidang perpajakan. Apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya, kegiatan – kegiatan tersebut merupakan suatu proses yang berkaitan satu sama lainnya, terutama dalam hubungannya dengan usaha penegakan Peraturan Perundang – undangan Perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak akan kewajiban perpajakannya.

Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dari penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, karena penerimaan dari migas tidak dapat diandalkan lagi, sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai pelengkap.

Pemungutan  pajak di suatu Negara, menurut Gunadi (1997: 1), dianggap sukses apabila terdapat enam kondisi pendukung, yaitu:

  1. Sebagian besar aktifitas ekonomi dilaksanakan dalam transaksi uang.
  2. Tingkat iliterasi (buta huruf) masyarakat rendah.
    1. Adanya praktek pembukuan (administrasi) yang sehat dan dapat diprecaya (reliable).
  3. Tingkat kepatuhan dan disiplin yang tinggi.
    1. Tersedianya jaringan dan akses terhadap informasi serta komunikasi yang efektif dengan sedikit (menghilangkan) kerahasiaan (untuk tujuan perpajakan).
    2. Rendahnya tingkat sektor (ekonomi) informal (underground, black market economy).

Sejak diterapkannya sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia, peranan positif Wajib Pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya (tax compliance) menjadi semakin mutlak diperlukan.

Agar sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak hukum merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan pajak. Pemeriksanaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan kepatuhan perpajakan seorang Wajib Pajak (Priatara 2000), kepatuhan ini akan sangat berdampak baik secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan pajak.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa besar pajak dapat dipengaruhi oleh kepatuhan Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakannya dan dipengaruhi pula oleh pelaksanaan pajak.

Hal tersebut menyebabkan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN PADA KPP DKI JAKARTA KHUSUSNYA JAKARTA PUSAT”

B.              Rumusan Masalah

Berdasarkan latar berlakang dan identifikasi permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini perumusan masalah yang diajukan adalah

1.  Bagaimana pengaruh penerapan self assessment system terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan Pajak DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat?

2. Bagaimana pengaruh penerapan self assessment system terhadap Realisasi penerimaan pajak Wajib Pajak Badan KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat?

C.  Batasan Masalah

Untuk mempersempit masalah maka penulis membatasi ruang lingkup masalah mengenai pengaruh pelaporan SPT terhadap realisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Pusat.

D.              Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian

ini adalah sebagai berikut:

Adapun tujuan Penelitian Ilmiah ini adalah:

1.  Untuk mengetahui pengaruh penerapan self assessment system terhadap   tingkat kepatuhan wajib pajak badan pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat pada periode 2003-2007?

2. Untuk mengetahui bagaimana realisasi penerimaan pajak dengan penerapan self assessment system pada Wajib Pajak Badan KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat?

E.  Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan serta manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.  Manfaat Bagi Akademis

Dalam penulisan ilmiah ini dapat diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada mahasiswa, terlebih lagi dalam memahami pengaruh penerapan self assessment system terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan.

2.   Manfaat Bagi Penulis

Penulis dapat memberikan pengalaman baru, pengetahuan, serta aplikasi langsung di dalam memahami materi pengaruh penerapan self assessment system terhadap tingkat kepatuhan.

3.   Manfaat Bagi Pembaca atau Masyarakat

Dalam penulisan ilmiah ini dapat memberikan informasi mengenai penerapan self assessment system terhadap tingkat kepatuhan.

F.  Metode Penelitian

Dalam penulisan ini penulis menggunakan dua metode untuk memperoleh atau mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, yaitu :

1.  Objek Penelitian

Objek yang digunakan dalam penulisan ini adalah KKP DKI Jakarta

khususnya Jakarta Pusat.

2.  Data / Variabel

Data yang digunakan berupa kuantitatif berupa tabel SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar, WP Badan Efektif, dan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat periode 2003-2007.

3.  Metode Pengumpulan Data

Data yang saya ambil merupakan data sekunder berupa tabel SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar, WP Badan Efektif, dan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat.

4.  Alat Analisis yang digunakan

Analisis data yang digunakan berupa deskriptif kuantitatif, yaitu metode:

1)     Analisis Regresi.

Y  = b0 + b1 X1 + b2X2 + bз Xз

Keterangan :

Y          = Realisasi

b0 = Konstanta / Intercept

b1   , b2 = Koefisien Regresi

X1 = SPT Badan Diterima

X2 = Wajib Pajak Badan Terdaftar

Xз        = Wajib Pajak Badan Efektif

2)     Pengujian Hipotesis

Untuk menguji apakah secara statistik Variabel Bebas SPT Badan Diterima (X1), Wajib Pajak Badan Terdaftar (X2), Wajib Pajak Badan Efektif (Xз) yang dipilih mempunyai pengaruh nyata yang efektif baik secara simultan maupun secara parsial terhadap Upaya Pengamanan Penerimaan Pajak pada KPP Pratama yang berada di lingkungan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Pusat.

BAB  II

LANDASAN  TEORI

  1. A. Kerangka Teori
  1. Definisi Pajak

Sejak jaman dahulu sebelum perkembangan masyarakat seperti sekarang ini, telah dikenal adanya pemungutan pajak. Dimana dalam masyarakat yang sangat sederhana tersebut, penyelenggaraan kepentingan bersama diurus dan diatur oleh orang yang sangat dituakan dalam masyarakat disebut kepala kelompok/suku/marga. Dalam pembiayaan penyelenggaraan kepentingan bersama anggota kelompok memberikan sebagian waktu, tenaga, dan sebagian harta miliknyakepada ketua kelompok. Pemberian dalam bentuk natura ini dapat dianggap sebagai pajak dalam bentuk yang sangat sederhana. Kemudian kelompok masyarakat tersebut semakin berkembang semakin besar yang diikuti pula dengan semakin berkembangnya kepentingan dari masyarakat. Sehingga peranan kepentingan bersama semakin kompleks dan memerlukan suatu organisasi besar yang dikenal dengan Negara pada saat ini. Pemberian dalam bentuk natura tersebut kemudian berubah menjadi dalam bentuk uang karena dianggap lebih fleksibel dan berfungsi sebagai pembayaran pajak.

Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh  dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum. Karena pajak merupakan prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Pajak juga didefinisikan sebagai iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Pajak juga dikatakan sebagai suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan pajak Pendapatan (2007: 1) menyatakan: “Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang berlangsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Sedangkan menurut Santoso Brotodihardjo (1998: 2), pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk. Dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.

Rachmat Soemitro (2003: 8) mengemukakan tentang Pajak sebagai berikut : “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment”.

Dari definisi di atas terlihat ada beberapa hal pokok yang bisa disimpulkan, yaitu :

  1. Pajak dipungut dari rakyat untuk membiayai program pemerintah.
  2. Pajak dipungut secara paksa (compulsory), bukan secara sukarela (voluntary).
  3. Tidak mendapatkan kontraprestasi, jadi rakyat yang membayar pajak tidak merasakan manfaatnya secara langsung. Manfaat yang diterima masyarakat adalah berupa pelayanan yang diberikan pemerintah secara umum ataupun menikmati hasil pembangunan yang dilakukan Pemerintah.

  1. Fungsi Pajak

Terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur) dalam resmi (2007: 3), yaitu:

  1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.

  1. Fungsi Regulerend (Mengatur)

Pajak mempunyai fungsi regulerend artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

  1. Jenis Pajak

Dalam resmi (2007: 7), di Indonesia pajak dikelompokkan menurut beberapa kategori, yaitu menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutannya.

  1. Menurut Golongannya

1)      Pajak Langsung, adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wjib Pajak dan tidak dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain.

2)      Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.

  1. Menurut Sifatnya

1)      Pajak Subjektif, adalah pajak yang penggenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya.

2)      Pajak Objektif, adalah pajak yang pengenaanya memperhatikan pada objeknya baik pada berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan subjek pajak maupun tempat tinggal.

  1. Menurut Lembaga Pemungutannya

1)      Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.

2)       Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tanggan daerah masing-masing.

  1. Tata Cara Pemungutan Pajak
  1. Asas-asas Pemungutan Pajak

Dalam Waluyo (2007: 13) terdapat empat asas-asas pemungutan pajak yang dikemukan oleh Adam Smith yaitu: Equality, Certainty, Convenience, dan Economy.

1)      Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.

2)      Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus bayar, serta batas waktu pembayaran.

3)      Convenience

Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn.

4)      Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.

  1. Sistem Pemungutan Pajak

Dalam Resmi (2007: 11) dikemukakan beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu antara lain:

1) Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

2)      Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

3)      With Holding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

  1. Self Assessment System

Sistem Self Assessment adalah suatu sistem yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selain itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perpajakan. Pembayaran pajak selama tahun berjalan pada dasarnya merupakan angsuran pajak untuk meringankan beban Wajib Pajak pada akhir tahun pajak. Hakikat Self Assessment System adalah penetapan sendiri besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Pada sistem ini, masyarakat Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untunk melaksanakan kewajibannya, yaitu menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan.

  1. Wajib Pajak

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak dan  pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sebagaimana telah diketahui banyak Wajib Pajak terdaftar yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu ada beberapa istilah seperti Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak Non Efektif. Adapun pengertian Wajib Pajak Efektif adalah Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya. Sedangkan Wajib Pajak Non Efektif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan Surat Edaran SE-01/PJ.9/20 tentang Pengawasan Penyampaian SPT Tahunan disebutkan bahwa Jumlah Wajib Pajak efektif adalah selisih antara jumlah Wajib Pajak terdaftar dengan jumlah Wajib Pajak non efektif

Kewajiban Wajib Pajak:

1)      Mendaftarkan diri dan meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila belum mempunyai NPWP.

2)      Mengambil sendiri blangko Surat Pemberitahuan (SPT) dan blangko perpajakan lainnya di tempat-tempat yang ditentukan oleh DJP.

3)      Mengisi dengan lengkap, jelas dan benar dan menandatangani sendiri SPT dan  kemudian mengembalikan SPT itu kepada kantor inspeksi pajak dilengkapi  dengan lampiran-lampiran.

4)      Melakukan pelunasan dan melakukan pembayaran pajak yang ditentukan oleh Undang-Undang.

5)      Menghitung sendiri, menetapkan besarnya jumlah dan membayar pajak dalam tahun yang sedang berjalan, sesuai dengan pajak dari tahun terakhir atau sesuai dengan SKP yang dikeluarkan oleh DJP.

6)      Menghitung dan menetapkan sendiri pajak yang terutang menurut cara yang  ditentukan.

7)      Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan-pencatatan.

8)      Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib:

  1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak.
  2. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
  3. Memberikan keterangan yang diperlukan.

9)      Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.

Hak-hak Wajib Pajak:

1)      Menerima tanda bukti pemasukan SPT.

2)      Mengajukan permohonan dan penundaan penyampaian SPT.

3)      Melakukan pembetulan sendiri SPT yang telah dimasukkan ke KPP.

4)      Mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.

5)      Mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak serta berhak memperoleh kepastian terbitnya surat keputusan kelebihan pembayaran pajak, surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

6)      Mendapatkan kepastian batas ketetapan pajak yang terutang dan penerbitan Surat Pemberitaan.

7)      Mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.

8)      Mengajukan surat keberatan dan mohon kepastian terbitnya surat keputusan atas surat keberatannya.

9)      Mengajukan permohonan banding atas surat keputusan keberatan yang diterbitkan oleh DJP.

10)  Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru.

11)  Memberikan kuasa khusus kepada orang yang dipercaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

  1. Kepatuhan

Adanya sanksi administrasi maupun sanksi hukum pidana bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dilakukan supaya masyarakat selaku Wajib Pajak mau memenuhi kewajibannya. Hal ini terkait dengan ikhwal kepatuhan perpajakan atau tax compliance. Kepatuhan adalah ketaatan atau berdisiplin, dalam hal ini kepatuhan pajak diartikan secara bebas adalah ketaatan dalam menjalankan semua peraturan perpajakan. Menurut Nurmantu (2003:148) kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan jg perilaku yang taat hukum. Secara konsep, kepatuhan diartikan dengan adanya usaha dalam mematuhi peraturan hukum oleh seseorang atau organisasi.

Dalam sistem self assessment, administrasi perpajakan berperan aktif melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pengawasan dan penerapan sanksi terhadap penundaan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perpajakan. Fungsi pengawasan memegang peranan sangat penting dalam sistem self assessment, karena tanpa pengawasan dalam kondisi tingkat kepatuhan Wajib Pajak masih rendah, mengakibatkan sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik, sehingga Wajib Pajak pun akan melaksanakan kewajiban pajaknya dengan tidak benar dan pada akhirnya penerimaan dari sektor pajak tidak akan tercapai.

Dasar-dasar kepatuhan  meliputi:

1)      Indoctrination

Sebab pertama warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah adalah karena dia didoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya.

2)      Habituation

Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.

3)      Utility

Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur, akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Karena itu diperlukan patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut, patokan tadi merupakan pedoman atau takaran tentang tingkah laku dan dinamakan kaedah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaidah adalah karena kegunaan dari pada kaidah tersebut.

4)      Group Identification

Dari satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaidah adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan  identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang  berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena  ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi. Bahkan  kadang-kadang seseorang mematuhi kaidah kelompok lain, karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut.

Sebenarnya masalah kepatuhan yang merupakan suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses, yaitu:

1)      Compliance

Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan akan ada, apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.

2)      Identification

Identification terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan  karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung pada baik buruknya interaksi tadi.

3)      Internalization

Pada Internalization seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh  karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya sejak semula pengaruh terjadi, atau oleh karena dia merubah pola-pola yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Pusat kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang terhadap tujuan dari kaidah-kaidah bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.

Berlakunya sistem self assessment di Indonesia menunjang besarnya peranan Wajib Pajak dalam menentukan besarnya penerimaan negara dari sektor pajak yang didukung oleh kepatuhan pajak (tax compliance). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepatuhan pajak merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan dengan sistem self assessment adalah kepatuhan sukarela (valuntary compliance) bukan kepatuhan yang dipaksakan (compulsary compliance). Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak, diperlukan keadilan dan keterbukaan dalam menerapkan perpaturan perpajakan, kesederhanaan peraturan dan prosedur perpajakan serta pelayanan yang baik dan cepat dari Wajib Pajak.

Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak harus mematuhi kewajibannya dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. Kepatuhan pajak ada dua jenis yaitu:

1)      Kepatuhan Formal yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya secara formal sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan.

2)      Kepatuhan Material yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif hakikat memenuhi  semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa UU perpajakan.

Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Wajib Pajak patuh adalah mereka yang  memenuhi empat kriteria dibawah ini, yakni:

1)      Wajib Pajak tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.

2)      Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.

3)      Wajib Pajak tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak  pidana di bidang perpajakan dalam waktu sepuluh tahun terakhir.

4)      Laporan keuangan Wajib Pajak yang diaudit akuntan publik atau BPKP  harus mendapatkan status wajar tanpa pengecualian, atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Selanjutnya ditegaskan bahwa seandainya laporan keuangan diaudit, laporan audit tersebut harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.

  1. Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang digunakan oleh pemotong untuk melaporkan pemotongan, perhitungan, dan Penyetoran Pajak atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

Surat Pemberitahuan (SPT) diterima adalah SPT yang dilaporkan setiap tahunnya dan diterima oleh KPP setempat.

BAB  III

METODE  PENELITIAN

A.  Data / Variabel yang Digunakan

Data yang penulis gunakan dalam penulisan ilmiah ini adalah data sekunder. Data ini diperoleh dengan cara mengumpulkan data yang telah diolah oleh pihak perusahaan berupa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan wajib pajak badan pada periode 2003-2007.  Data juga dipeloleh dengan membuka website Pajak yaitu http://www.pajak.co.id untuk memperoleh informasi-informasi yang berkaitan dengan penulisan ilmiah.

B.  Metode yang Digunakan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus yaitu penelitian yang rinci mengenai suatu objek tertentu dengan cukup mendalam dan menyeluruh. Ada 2 metode studi kasus yang diterapkan yaitu descriptive research dan verificative analysis. Tipe penyelidikan (investigation type) adalah tipe kausalitas yang bertujuan menjelaskan hubungan antar variabel, sedangkan cakupan waktu (time horizon) bersifat time series atau deret waktu yaitu sekumpulan data dari suatu fenomena tertentu yang didapat dalam beberapa interval waktu, dalam hal ini tahunan yaitu tahun 2003-2007 unit analisis adalah laporan perpajakan setiap Kantor Pelayanan Pajak Pratama di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak Jakarta Pusat berkaitan dengan kepatuhan Wajib Pajak Badan.

1.   Definisi Operasional Surat Pemberitahuan

Variabel SPT Badan Diterima dalam penelitian ini adalah Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang digunakan oleh pemotong untuk melaporkan pemotongan, perhitungan, dan Penyetoran Pajak atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

Untuk lebih jelasnya, opersionalisasi variabel SPT Badan Diterima dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1

Operasionalisasi Variabel SPT Badan Diterima

Variabel

Uraian dan Indikator

Ukuran

Skala

SPT Badan diterima (X1)

SPT Wajib Pajak yang dilaksanakan oleh fiskus sehingga menyebabkan PPh terutang Wajib Pajak  dalam rangka menguji kepatuhan Wajib Pajak serta untuk meningkatkan Realisasi.

SPT Badan Diterima

Nominal

2. Definisi Operasional Wajib Pajak Badan Terdaftar

Variabel Wajib Pajak Badan Terdaftar dalam penelitian ini adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak dan  pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Untuk lebih jelasnya, opersionalisasi variabel Wajib Pajak Badan Terdaftar dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.2

Operasionalisasi Variabel Wajib Pajak Badan Terdaftar

Variabel

Uraian dan Indikator

Ukuran

Skala

WP Badan Terdaftar (X2)

Wajib Pajak Badan Terdaftar yang setiap tahunannya membayar pajak dalam rangka pencapaian Realisasi yang tinggi

Wajib Pajak Badan Terdaftar

Nominal

3. Definisi Operasional Wajib Pajak Badan Efektif

Wajib Pajak Badan Efektif adalah Wajib Pajak Efektif adalah Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya. Untuk lebih jelasnya, opersionalisasi variabel Wajib Pajak Badan Efektif dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.3

Operasionalisasi Variabel Wajib Pajak Badan Efektif

Variabel

Uraian dan Indikator

Ukuran

Skala

Wajib Pajak Badan Efektif

(X3)

Wajib Pajak Badan Efektif yang diawasi penyampaian SPT setiap tahunnya dalam rangka pencapaian realisasi yang tinggi

Wajib Pajak Badan Efektif

Nominal

  1. 4. Definisi Operasional Realisasi

Variabel Realisasi dalam penelitian ini adalah pelaporan SPT dari Wajib Pajak Badan setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya, variabel Realisasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.4

Operasionalisasi Variabel Realisasi

Variabel

Uraian dan Indikator

Ukuran

Skala

Realisasi

( Y )

Penerimaan pajak dari Wajib Pajak Badan yang berhasil dihimpun oleh KPP

Realisasi

Nominal

C. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh laporan perpajakan tahunan pada KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat untuk tahun 2003 s/d 2007. sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk menguji pengaruh, penarikan sampel menggunakan pendekatan non probability random sampling dengan teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sample dengan menggunakan kriteris (pertimbangan) tertentu (Sugiyono, 2005 : 62).

Sehingga sesuai dengan tujuan penelitian yaitu tentang penagihan pajak dan surat paksa pajak pada KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat, maka sample yang dipilih adalah laporan – laporan yang mendukung hal tersebut dengan ukuran sample sebanyak 15 KPP Pratama. Adapun sample yang digunakan sebagai objek penelitian dalam penulisan ini adalah :

  1. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran.
  2. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Cempaka Putih.
  3. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu.
  4. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Dua.
  5. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Tiga.
  6. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Empat.
  7. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Menteng Tiga.
  8. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Menteng Dua.
  9. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Menteng Satu.

10.  Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Sawah Besar Satu.

11.  Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Sawah Besar Dua.

12.  Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Senen.

13.  Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanah Abang Satu.

14.  Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanah Abang Dua.

15.  Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanah Abang Tiga.

Ukuran sampel penelitian setelah dialokasikan ditetapkan sebanyak 15 X 5 = 75 laporan.

D.  Sumber dan Cara Penentuan Data

Data yang digunakan dalam penellitian ini terdiri atas dua jenis yaitu data sekunder. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pihak kedua dalam hal ini berupa data dari KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat yaitu SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Efektif, dan Realisasi.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari laporan / publikasi resmi dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat berupa laporan SPT Badan Diterima, laporan Wajib Pajak Badan Terdaftar, dan laporan Wajib Pajak Badan Efektif.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini mengambil data dari KPP Pratama di lingkungan Kanwi DJP Jakarta Pusat dalam bentuk :

  1. Data Realisasi tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007.
  2. Data laporan SPT Badan Diterima per tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007.
  3. Data laporan Wajib Pajak Badan Terdaftar per tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007.
  4. Data laporan Wajib Pajak Efektif per tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007.

Selain data tersebut di atas, juga dilakukan studi literature sebagai data pendukung penelitian ini yang diperoleh dari buku-buku.

Cara penentuan data yang dilakukan sebagai bahan penelitian adalah dari populasi berupa laporan – laporan administrasi perpajakan yang diterbitkan oleh KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat per tahun dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. dengan jumlah KPP Pratama sebanyak 15 KPP Pratama sehingga jumlah data yang diteliti sebanyak 75 laporan.

E.  Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data sekunder dan studi kepustakaan.

1)      Pengumpulan data sekunder diperoleh dari peraturan–peraturan perpajakan dan laporan-laporan yang berkaitan dengan SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif dan Realisasi diperoleh dari KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

2)      Studi kepustakaan dalam hal ini adalah dengan membaca dan mempelajari lebih mendalam berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tujuan dari studi ini adalah dengan membandingkan kenyataan di lapangan dengan teori yang ada.

F.  Alat Analisis yang Digunakan

1.   Rancangan Analisis

Data terkumpul dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah berikut:

1)      Melakukan persiapan dengan mengumpulkan dan memeriksa kelengkapan laporan resmi serta memeriksa kebenaran datanya.

2)      Hasil laporan resmi ditabulasi yang telah ditetapkan.

3)      Data hasil tabulasi dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Secara terperinci metode analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Analisis Deskriptif , yaitu analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif  dan Realisasi berupa distribusi frekuensi dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
  2. Analisis Regresi Linear Berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y) (Priyatno, 2008:66). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Hipotesis yang diajukan digambarkan secara diagmatik yang menunjukkan pengaruh antar variable. Hipotesis akan diuji dengan menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis) yang menggambarkan secara komphrehensif pengaruh variabel independent yang meliputi SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif terhadap variabel dependennya Realisasi. Adapun rumus regresi linear bergandanya adalah sebagai berikut :

Y  = b0 + b1 X1 + b2X2 + bзXз

Keterangan :

Y   = Realisasi

b0 = Konstanta / Intercept

b1   , b2 = Koefisien Regresi

X1 = SPT Badan Diterima

X2 = Wajib Pajak Badan Terdaftar

Xз  = Wajib Pajak Badan Efektif

G.  Pengujian Hipotesis

Selanjutnya setelah analisis data diatas sudah dilakukan, maka dengan mengacu kepada model regresi berganda langkah pengujian hipotesisnya adalah pengujian secara simultan dengan menggunakan statistic uji F dan pengujian secara parsial menggunakan statistic uji t.

  1. Pengujian Simultan

Hipotesis statistik pada pengujian secara simultan adalah :

H0 : b1 = b2 = 0      SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif secara simultan tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : b1 ≠ b2 ≠ 0    SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif secara simultan tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

Dimana :

SSR = Sum of Square Regression ( jumlah regresi

kuadrat )

SSE = Sum of Square Error ( jumlah error kuadrat )

k      = banyaknya variable bebas

n      = ukuran sample

Hipotesis pertama ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji F dengan rumus sebagai berikut :

SSR

k

F =          SSE

n – ( k + 1 )

Statistik uji di atas mengikuti sebaran F dengan df1 = k ; df2 = V1= k-1, V2 = k(n-1)

jumlah variable independen ; n: jumlah data ) dan tingkat signifikansi 5% untuk membandingkan nilai F hitung dengan F tabel atau nilai probabilitas ( p ) dengan a = 0,05 pada taraf nyata 95%. Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan hipotesis :

–         Jika F hitung > F tabel ,  atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.

–         Jika F hitung < F tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.

  1. Pengujian Parsial

Hipotesis statistik pada pengujian secara parsial terhadap variable X1 (SPT Badan Diterima) adalah :

H0 : b1 = 0  Secara parsial SPT Badan Diterima tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : b1 ≠ 0    Secara parsial SPT Badan Diterima berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji t dengan rumus sebagai berikut :

Dimana :

b             =    koefisien regresi

SE ( b )   =    standard error untuk b

t =         b

SE ( b )

Statistik uji di atsa mengikut sebaran t-student dengan df = n-2 dan taraf kesalahan dua sisi a = 0,05. Penentuan signifikansinya dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau nilai probabilitas ( p ) pada taraf nyata 95%. Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan hipotesis :

–         Jika t hitung > t tabel ,  atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.

–         Jika t hitung < t tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Hipotesis statistik pada pengujian secara parsial terhadap variable X2 (Wajib Pajak Badan Terdaftar) adalah :

H0 : b2 = 0  Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : b2 ≠ 0  Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji t dengan rumus sebagai berikut :

Dimana :

b             =    koefisien regresi

SE ( b )   =    standard error untuk b

t =         b

SE ( b )

Statistik uji di atsa mengikut sebaran t-student dengan df = n-2 dan taraf kesalahan dua sisi a = 0,05. Penentuan signifikansinya dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau nilai probabilitas ( p ) pada taraf nyata 95%. Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan hipotesis :

–         Jika t hitung > t tabel ,  atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.

–         Jika t hitung < t tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Hipotesis statistik pada pengujian secara parsial terhadap variable X2 (Wajib Pajak Badan Terdaftar) adalah :

H0 : bз = 0      Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : bз ≠ 0  Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan statistic uji t dengan rumus sebagai berikut :

Dimana :

b             =    koefisien regresi

SE ( b )   =    standard error untuk b

t =         b

SE ( b )

Statistik uji di atsa mengikut sebaran t-student dengan df = n-2 dan taraf kesalahan dua sisi a = 0,05. Penentuan signifikansinya dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau nilai probabilitas ( p ) pada taraf nyata 95%. Untuk menentukan daerah penolakan atau penerimaan hipotesis :

–         Jika t hitung > t tabel ,  atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.

–         Jika t hitung < t tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Interprestasi terhadap koefisien regresi dan koefisien determinasi (R2) dari model regresi berganda adalah perlu. Dalam uji statistik masih diperlukan untuk mengetahui besarnya koefisien determinasi (R2) guna mengukur seberapa juauh kemampuan model dalam menerangkan variabel terikat. Harga koefisien determinasi akan bernilai 1 jika seluruh observasi pada garis regresi dan akan bernilai 0 jika tidak ada pengaruh linier antara variabel dependen dan variabel independent. Nilai R2 akan bernilai 0 bukan berarti tidak ada pengaruh antara hubungan linier.

Untuk mengukur besarnya kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat, maka digunakan rumus :

SSR
SSR
SSR + SSE
SStotal

R2 =                    =

BAB  IV

PEMBAHASAN

  1. A. Objek Penelitian

Pembentukan KPP Pratama diawali dengan implementasi modernisasi perpajakan di KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayer Office, LTO) melalui Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/2002, bersamaan dengan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar. Kemudian sejalan dengan karakteristik Wajib Pajak yang dikelola, organisasinya diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.587/KMK.01/2003, selanjutnya diubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan No.254/KMK.01/2004 dan No.132/KMK.01/2006.

KPP Pratama di Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat mengelola Wajib Pajak menengah ke bawah yakni jenis badan di luar yang telah dikelola di KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya serta orang pribadi dan Wajib Pajak badan. Di KPP Pratama ada kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak, sehingga jumlah Wajib Pajak-nya dapat selalu bertambah seirama dengan pertambahan orang pribadi yang memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau melakukan kegiatan usaha di wilayah kerjanya. Dengan demikian, jenis Wajib Pajak yang dikelola terdiri dari orang pribadi, badan, maupun sebagai pemotong atau pemungut pajak (seperti bendaharawan instansi pemerintah). Jenis pajak yang dikelola semuanya, yakni PPh, PPN, PPnBM, bea meterai, PBB,  dan BPHTB. Kedudukannya berada di semua Kantor Wilayah di Indonesia, kecuali Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Jakarta Khusus.

Dalam perkembangannya dalam mengimplementasikan administrasi perpajakan modern, kegiatan KPP Pratama memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Merupakan penggabungan dari tiga unit kantor pajak sebelumnya, yaitu KPP, KPPBB dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak.
    1. Struktur organisasi umumnya sama dengan KPP WP Besar dan KPP Madya,

hanya ada penambahan satu seksi yaitu Seksi Ekstensifikasi Perpajakan.

  1. Sistem Administrasi Perpajakan yang digunakan merupakan gabungan Sistem Informasi DJP (SIDJP) dan Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP).
  2. Mengadministrasikan seluruh jenis pajak yang dikelola DJP (PPH, PPN, PPnBM, bea meterai, PBB, BPHTB).
    1. Account Representative (AR) ditugaskan untuk mengawasi wilayah tertentu

atau Wajib Pajak tertentu berada di wilayah kerja KPP yang bersangkutan.

1.   Struktur Organisasi dan Tata Kerja KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat

Sebagai instansi vertikal di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Pusat, KPP Pratama yang dipimpin oleh seorang Kepala Kantor memiliki tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL). Selanjutnya susunan organisasi KPP dan fungsi tiap-tiap bagian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Subbagian Umum mempunyai tugas pengurusan kepegawaian, keuangan, dan tata usaha, dan rumah tangga.
  2. Seksi Pengolahan Data dan Informasi bertugas melakukan pengumpulan, pencarian dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan, penyajian informasi perpajakan, perekaman dokumen perpajakan, pelayanan dukungan teknis komputer, pemantauan aplikasi e-SPT dan eFiling, serta penyiapan laporan kinerja;
  3. Seksi Pelayanan bertugas melakukan penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan, pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi Wajib Pajak, pelaksanaan ekstensifikasi serta melakukan kerjasama perpajakan;
  4. Seksi Penagihan mempunyai tugas penatausahaan piutang pajak, penundaan dan angsuran tunggakan pajak, penagihan aktif, usulan penghapusan piutang;
  5. Seksi Pemeriksaan mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan; aturan pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak serta administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya;
  6. Seksi Pengawasan dan Konsultasi I, Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, Seksi Pengawasan dan Konsultasi III, serta Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV, masing-masing mempunyai tugas melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, bimbingan/himbauan kepada Wajib Pajak dan konsultasi teknis perpajakan, penyusunan profil Wajib Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak, melakukan rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi, serta melakukan evaluasi hasil banding.
  7. Kelompok Jabatan Fungsional bertugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.   Tahapan – Tahapan Pelayanan Perpajakan KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat.

Pada dasarnya, sarana dan prasarana, pola kerja dan pada pelayanannya, KPP Pratama sama dengan KPP WP Besar dan KPP Madya. Adapun tahapan – tahapan pelayanan perpajakan di tiap KPP dan siap dimanfaatkan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut :

  1. Tempat Pelayanan Terpadu (TPT)

TPT merupakan tempat untuk melayani Wajib Pajak dalam hal pengurusan kewajiban perpajakan yang meliputi penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT), surat permohonan dan surat lainnya.

  1. Penunjukkan Account Representative (AR)

Account Representative (AR) bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan dan pengawasan secara langsung untuk beberapa Wajib Pajak tertentu yang telah ditugaskan kepadanya, yaitu bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi perpajakan secara efektif dan professional, serta memberikan respon yang efektif atas pertanyaan dan permasalahan yang disampaikan, sekaligus mengawasi kepatuhan wajib pajak yang menjadi tugasnya. Beberapa informasi yang diberikan oleh Account Representative kepada Wajib Pajak adalah, (i) rekening Wajib Pajak (Taxpayers’ Account) untuk semua jenis pajak, (ii) kemajuan proses pemeriksaan dan restitusi, (iii) interpretasi dan penegasan atas suatu peraturan, (iv) perubahan data identitas Wajib Pajak, (v) tindakan pemeriksaan dan penagihan pajak. (vi), kemajuan proses keberatan dan banding. Dan (vii), perubahan peraturan perpajakan berkaitan dengan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Setiap Account Representative pada KPP di lingkungan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar bertugas melayani dan mengawasi administrasi perpajakan 3 sampai dengan 8 Wajib Pajak dengan pembagian penugasan ditetapkan menurut jenis usaha Wajib Pajak yang sejenis dan yang mendekati sejenis tergantung jumlah Wajib Pajak.

  1. Pembayaran pajak (e-Payment)

Wajib Pajak diwajibkan membayar pajak pada bank persepsi/bank devisa persepsi melalui sistem pembayaran yang disebut Monitoring Pembayaran dan Pelaporan Pajak (MP3). Sistem ini menghubungkan bank dengan Direktorat Jenderal Pajak secara online.

Setiap pembayaran direkam oleh bank dan Direktorat Jenderal Pajak pada saat yang bersamaan. Sistem yang ada pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak secara otomatis menerbitkan satu nomor unik terdiri dari 16 digit yang disebut Nomor Tanda Pembayaran Pajak (NTPP) sebagai validasi Direktorat Jenderal Pajak terhadap setiap satu setoran pajak. Data pembayaran pajak dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak ditransfer setiap hari ke sistem yang ada pada KPP dimana Wajib Pajak terdaftar dan data pembayaran ini secara otomatis dibukukan pada rekening Wajib Pajak (Taxpayers’ Account) dimana data pembayaran disandingkan dengan data kewajiban pajak berdasarkan pelaporan Wajib Pajak atau adanya produk pajak berupa ketetapan mengenai kewajiban pajak yang masih harus dibayar.

  1. Pelaporan pajak (e-Reporting, e-SPT)

Elektronic SPT atau disebut e-SPT adalah aplikasi (software) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk digunakan oleh Wajib Pajak sebagai alternatif dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dimana data-datanya telah direkam atau diolah sendiri oleh Wajib Pajak dengan bantuan aplikasi e-SPT menjadi data elektronik yang dapat langsung dimuat (upload) sistem dan database yang ada di KPP. Dasar pengoperasiannya, Wajib Pajak terlebih dahulu melakukan instalasi aplikasi e-SPT pada komputer Wajib Pajak sendiri. Aplikasi e-SPT pada komputer Wajib Pajak digunakan untuk merekam data-data Surat Pemberitahuan (SPT) secara manual atau mengolahnya dari database Wajib Pajak. Setelah seluruh data terekam, melalui aplikasi e-SPT dapat dicetak formulir induk Surat Pemberitahuan (SPT) yang terisi secara otomatis dari data-data yang direkam dan data-data yang telah terekam tersebut juga dapat dipindahkan ke dalam media penyimpaan seperti disket atau compact disc (CD) untuk selanjutnya diserahkan ke KPP sebagai pelaporan dengan terlebih dahulu menandatangani formulir induk hasil cetakan aplikasi e-SPT. Di TPT, formulir induk yang telah ditandatangani dan media penyimpanan datanya dapat diterima oleh petugas dimana selanjutya rekaman data dalam media penyimpanan tersebut dimuat (upload) ke database KPP. Setelah upload data berhasil maka pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak dianggap sah dan disini berarti data Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak yang ada pada database KPP merupakan data yang direkam oleh Wajib Pajak.

  1. Pemberkasan dokumen pajak (eFiling)

EFiling adalah layanan yang disediakan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak agar Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya secara elektronik dan online realtime melalui aplikasi penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) berbasis web. Karakteristik eFiling adalah proses yang cepat, karena pada prinsipnya Wajib Pajak dapat langsung melakukan upload data Surat Pemberitahuan (SPT) ke database Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak tanpa melalui KPP, proses ini ditindaklanjuti dengan proses download data Surat Pemberitahuan (SPT) ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar. Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Induk dan Berita Acara yang telah ditandatangani. Pengiriman data Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja dalam batasan waktu yang ditentukan.

  1. Pemeriksaan

Pemeriksaan secara khusus hanya dilakukan oleh fungsional pemeriksa pajak di KPP. Manajemen pemeriksaan lebih efisien dan efektif karena fungsi pemeriksaan dan fungsi lainnya berada dalam satu unit maka koordinasi fungsi tersebut lebih baik. Penugasan pemeriksaan difokuskan kepada sektor-sektor usaha tertentu sehingga hasil pemeriksaan lebih efektif dengan perlakuan perpajakan yang seragam dan pemeriksa lebih terspesialisasi sehingga produktivitas serta kualitas hasil pemeriksaan meningkat.

  1. Penagihan pajak

Pada KPP Pratama penagihan pajak dibagi dalam dua tahap, yakni soft collection dan hard collection. Soft collection selain dilaksanakan oleh Jurusita Pajak, juga dibantu oleh Account Representative. Pemantauan dan penangguhan tunggakan pajak diadministrasikan melalui Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT). Informasi yang terkait dengan tunggakan pajak serta pembayarannya untuk masing-masing Wajib Pajak dapat diakses langsung oleh Jurusita Pajak, Account Representative ataupun pihak-pihak yang berwenang, dan setiap tindakan penagihan dapat dimonitor melalui SI DJP.

  1. Surat Paksa Pajak

Surat Paksa Pajak yang dilakukan merupakan rangkaian penagihan pajak, dimana jika pengihan pajak melalui soft collection tidak tertagih, maka akan dilakukan penagihan dengan collection yang lebih dikenal dengan Surat Paksa Pajak, yang dilakukan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak secara langsung, atas PPh yang semestinya terutang setelah adanya koreksi fiskal, dan telah dilakukan penagihan dengan Soft Collection , namun tidak berhasil tertagih. Oleh karena itulah Surat Paksa Pajak dikeluarkan untuk meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak.

  1. Complain Center

KPP Pratama membangun Complaint Center untuk menangani keluhan-keluhan WP yang terdaftar. Permasalahan yang disampaikan ke Complaint Center meliputi keluhan mengenai segala jenis pelayanan, pemeriksaan, keberatan dan banding. Complaint Center tidak dimaksudkan untuk melayani keluhan pelanggaran kode etik Pegawai Pajak.

  1. Kegiatan Administrasi Lainnya

1)      Knowledge Base yang merupakan kumpulan standar pertanyaan dan jawaban mengenai berbagai masalah perpajakan juga dikembangkan untuk mendukung tugas pemberian pelayanan dan konsultasi yang menjadi tugas Account Representative.

2)      Sampai dengan tahun 2007 telah dilakukan penyuluhan kepada Wajib Pajak dengan topik Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan, Pasar Modal, Perbankan, Minyak Bumi dan Gas, Obligasi, serta Pajak Penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP).

Adapun Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat yang menjadi Objek Penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1

KPP Pratama yang Menjadi Objek Penelitian

No. Kode Nama
1 KMY Jakarta Kemayoran
2 CPT Jakarta Cempaka Putih
3 GB1 Jakarta Gambir Satu
4 GB2 Jakarta Gambir Dua
5 GB3 Jakarta Gambir Tiga
6 GB4 Jakarta Gambir Empat
7 MT3 Jakarta Menteng Tiga
8 MT2 Jakarta Menteng Dua
9 MT1 Jakarta Menteng Satu
10 SB1 Jakarta Sawah Besar Satu
11 SB2 Jakarta Sawah Besar Dua
12 SNN Jakarta Senen
13 TA1 Jakarta Tanah Abang Satu
14 TA2 Jakarta Tanah Abang Dua
15 TA3 Jakarta Tanah Abang Tiga

Data yang digunakan penulis dalam penulisan ilmiah ini berupa data SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar, WP Badan Efektif, dan Realisasi KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat pada periode 2003-2007.

  1. B. Pengujian Hipotesis

Berdasarkan data pengamatan selama tahun 2003 sampai dengan 2007 atau selama 5 tahun, dapat dilakukan pengolahan data penelitian dan analisis antar variabel berdasarkan metode Path-Analysis dengan melakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui pengaruh SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Efektif  terhadap Realisasi.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil perhitungan untuk variabel dependen dan variabel independen sebagai berikut :

Tabel 4.2

Data Variabel Dependen dan Independen

No Tahun KPP Pratama X1 X2 X3 Y
1. 2003 Kemayoran 1296 5890 3989 14571.64
2. 2003 Cempaka Putih 938 5211 2601 12998.6
3. 2003 Gambir Satu 222 965 1079 5143.71
4. 2003 Gambir Dua 1561 6002 5303 44982.07
5. 2003 Gambir Tiga 863 7191 2095 21681.57
6. 2003 Gambir Empat 626 3477 2242 82654.75
7. 2003 Menteng Tiga 457 2287 1483 6560.23
8. 2003 Menteng Dua 664 2887 3818 4893.47
9. 2003 Menteng Satu 423 2115 2445 37424.2
10. 2003 Sawah Besar Satu 1712 6341 5606 20569.58
11. 2003 Sawah Besar Dua 776 3698 3006 12974.53
12 2003 Senen 527 6589 4942 16146.96
13. 2003 Tanah Abang Satu 744 9301 2242 36008.41
14. 2003 Tanah Abang Dua 815 4288 2147 37718.43
15. 2003 Tanah Abang Tiga 962 3104 5319 18133.53
16. 2004 Kemayoran 1527 7486 3324 23515.62
17. 2004 Cempaka Putih 1103 5807 2167 14845.75
18. 2004 Gambir Satu 227 908 899 5956.81
19. 2004 Gambir Dua 1173 4344 4419 51270.21
20 2004 Gambir Tiga 436 1283 1746 24822.89
21. 2004 Gambir Empat 1513 16814 1868 13499.06
22. 2004 Menteng Tiga 565 4709 1236 7461.59
23. 2004 Menteng Dua 611 4076 3182 1648.57
24. 2004 Menteng Satu 5 72 4770 2037 42556.57
25. 2004 Sawah Besar Satu 1471 7874 4672 23435.6
26. 2004 Sawah Besar Dua 9 14 7613 2505 14668.65
27. 2004 Senen 294 2937 4118 18325.44
28. 2004 Tanah Abang Satu 563 4020 1868 41283.53
29. 2004 Tanah Abang Dua 1110 5549 1789 43146
30. 2004 Tanah Abang Tiga 1725 14377 4432 20668.45
31. 2005 Kemayoran 1747 8734 3693 30088.39
32. 2005 Cempaka Putih 1226 6811 2408 18809.1
33. 2005 Gambir Satu 252 1940 999 7708.81
34. 2005 Gambir Dua 1303 7146 4910 36900.36
35. 2005 Gambir Tiga 425 2203 1940 31259.98
36. 2005 Gambir Empat 1681 9341 2076 44275.66
37. 2005 Menteng Tiga 628 3140 1374 9480.61
38. 2005 Menteng Dua 679 2953 3535 9838.01
39. 2005 Menteng Satu 636 3180 2264 224498.26
40. 2005 Sawah Besar Satu 1575 4256 5191 29968.79
41. 2005 Sawah Besar Dua 1015 4833 2784 18715.6
42. 2005 Senen 326 1813 4576 23319.29
43. 2005 Tanah Abang Satu 625 2719 2076 52886.09
44. 2005 Tanah Abang Dua 1233 6490 1988 54797.73
45. 2005 Tanah Abang Tiga 1917 9128 4952 26282.55
46. 2006 Kemayoran 1609 8940 4345 35348.76
47. 2006 Cempaka Putih 1342 7453 2833 21977.12
48. 2006 Gambir Satu 418 1899 1175 6851.87
49. 2006 Gambir Dua 4178 13056 5777 76218.69
50. 2006 Gambir Tiga 1404 5201 2282 37069.17
51. 2006 Gambir Empat 549 1444 2442 37730.82
52. 2006 Menteng Tiga 778 3888 1616 11270.96
53. 2006 Menteng Dua 1014 5339 4159 11979.31
54. 2006 Menteng Satu 624 2152 2663 24645.98
55. 2006 Sawah Besar Satu 2489 8295 6107 35148.58
56. 2006 Sawah Besar Dua 1521 4905 3275 21905.38
57. 2006 Senen 662 5516 5383 27702.86
58. 2006 Tanah Abang Satu 641 2672 2442 61294.03
59. 2006 Tanah Abang Dua 839 3815 2339 64090.91
60. 2006 Tanah Abang Tiga 2152 10758 5749 32214.93
61. 2007 Kemayoran 3921 19607 5345 987953.85
62. 2007 Cempaka Putih 1399 7770 2748 936887.49
63. 2007 Gambir Satu 371 1485 599 174776.2
64. 2007 Gambir Dua 3311 10032 5869 609328.92
65. 2007 Gambir Tiga 661 2874 2045 199161.48
66. 2007 Gambir Empat 1344 3633 1166 223298.85
67. 2007 Menteng Tiga 678 3392 1919 133297.88
68. 2007 Menteng Dua 863 5753 4933 88842.78
69. 2007 Menteng Satu 1310 3358 3121 117869.25
70. 2007 Sawah Besar Satu 8541 44954 6131 404307.42
71. 2007 Sawah Besar Dua 1513 4727 3240 227398.16
72. 2007 Senen 3088 8327 8029 356877.6
73. 2007 Tanah Abang Satu 793 3448 1964 195623.45
74. 2007 Tanah Abang Dua 1641 5658 2291 134988.92
75. 2007 Tanah Abang Tiga 898 4724 4656 31674.25

Sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan antar variabel SPT Badan Diterima (X1), Wajib Pajak Badan Terdaftar (X2), dan Wajib Pajak Badan Efektif (Xз) mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Realisasi ( Y ). Untuk itu diperlukan regresi linear berganda untuk membuat model analisis. Adapun model yang direncanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Y  = b0 + b1 X1 + b2X2 + bзXз

Keterangan :

Y            = Realisasi

b0 = Konstanta / Intercept

b1   , b2 = Koefisien Regresi

X1 = SPT Badan Diterima

X2 = Wajib Pajak Badan Terdaftar

Xз           = Wajib Pajak Badan Efektif

Sebelum masuk dalam pembuatan model di atas, maka perlu dilakukan pengujian normalitas distribusi data.

  1. 1. Uji Normalitas

Uji kenormalan bertujuan untuk menguji bahwa data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi secara normal. Distribusi normal merupakan model paling baik untuk mendekati frekuensi distribusi fenomena alam dan sosial.

Gambar 4.1

Uji Normalitas SPT Badan Diterima

Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.

Gambar 4.2

Uji Normalitas Wajib Pajak Badan Terdaftar

Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.

Gambra 4.3

Uji Normalitas Wajib Pajak Badan Efektif

Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.

Gambar 4.4

Uji Normalitas Realisasi

Dari gambar di atas, terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model analisis jalur memiliki distribusi data yang normal.

  1. C. Inter Koefisien Korelasi

Analisis korelasi merupakan bagian dari pengujian asosiatif yang dikarenakan analisis korelasi bertujuan mencari kekuatan, signifikan dan arah hubungan antara dua variabel. Jika angka koefisien korelasi yang dihasilkan positif, maka terdapat hubungan yang positif atau searah antara kedua variabel tersebut dan sebaliknya, jika angka yang dihasilkan negatif maka hubungan antara kedua variabel tersebut juga negatif atau berlawanan. Tinggi rendahnya hubungan dua variabel menurut Husaini Usman (2003,201) dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel  4.3

Daftar Tingkatan Hubungan

Variabel Dependent dan Independent

Koefisien Korelasi Inter Prestasi
0,80  –  1,00 Sangat Kuat ( berkorelasi sempurna )
0,60  –  0,80 Kuat
0,40  –  0,60 Cukup Kuat
0,20  –  0,40 Lemah
0,00  –  0,20 Sangat Lemah ( tak berkorelasi )

D.  Analisis Korelasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat.

Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar dan WP Badan Efektif sebagai variabel (X) terhadap Realisasi sebagai variabel teriat (Y).

Tabel  4.4

Tabel Korelasi

Correlations

SPT_Badan_Terdaftar WP_Badan_Diterima WP_Badan_Efektif Realisasi
SPT_Badan_Terdaftar Pearson Correlation 1 .906(**) .578(**) .486(**)
Sig. (2-tailed) . .000 .000 .000
N 75 75 75 75
WP_Badan_Diterima Pearson Correlation .906(**) 1 .449(**) .400(**)
Sig. (2-tailed) .000 . .000 .000
N 75 75 75 75
WP_Badan_Efektif Pearson Correlation .578(**) .449(**) 1 .232(*)
Sig. (2-tailed) .000 .000 . .046
N 75 75 75 75
Realisasi Pearson Correlation .486(**) .400(**) .232(*) 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .046 .
N 75 75 75 75

**  Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*  Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Berikut ini adalah perhitungan untuk masing-masing rasio :

1.   Analisis Korelasi antara SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y)

Dengan analisis korelasi sederhana ini, maka dapat diketahui hubungan antara SPT Badan Diterima sebagai variabel bebas (X1) dengan Realisasi (Y) sebagai variabel terikat. Berikut ini adalah perhitungan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi (r) dari SPT Badan Diterima terhadap Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa nilai r atau koefisien korelasi yang dihasilkan antara SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y) pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode tahun 2003-2007 adalah sebesar 0,486. Dari hasil ini, maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel X1 (SPT Badan Diterima) dengan variabel (Realisasi) terdapat hubungan yang positif dan cukup kuat. Hubungan positif berarti terjadi hubungan yang searah antara variabel X1 dengan variabel Y tersebut, apabila variabel X1 (SPT Badan Diterima) mengalami kenaikan maka kenaikan tersebut diikuti pula oleh variabel Y (Realisasi) dan begitu pula sebaliknya, jika Variabel X1 (SPT Badan Diterima) mengalami penurunan maka Variabel Y (Realisasi) juga akan mengalami penurunan.

Sedangkan nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0,486 menunjukan hubungan yang cukup kuat dari SPT Badan Diterima dengan Realisasi, hal ini berarti kenaikan SPT Badan Diterima yang cukup besar diikuti oleh kenaikan Realisasi juga. Dan begitu pula sebaliknya, apabila SPT Badan Diterima mengalami penurunan yang cukup besar, penurunan tersebut diikuti pula oleh Realisasi akan tetapi penurunan yang terjadi tidak sebesar penurunan yang terjadi pada SPT Badan Diterima.

2.   Analisis Korelasi antara WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)

Dengan menggunakan analisis korelasi sederhana ini, maka dapat diketahui hubungan antara WP Badan Terdaftar sebagai variabel bebas (X2) dengan Realisasi (Y) sebagai variabel terikat. Berikut ini adalah perhitungan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi (r) dari WP Badan Terdaftar terhadap pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa nilai r atau koefisien korelasi yang dihasilkan antara WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y) pada KKP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode tahun 2003-2007 adalah sebesar 0,4. Dari hasil ini, maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel X2 (WP Badan Terdaftar) dengan variabel Y (Realisasi) terdapat hubungan yang positif dan hubungannya cukup kuat. Hubungan positif dalam hal ini berarti terjadi hubungan yang searah antara variabel X2 dengan variabel Y tersebut, apabila variabel X2 (WP Badan Terdaftar) mengalami kenaikan maka kenaikan tersebut diikuti pula oleh variabel Y (Realisasi) dan begitu pula sebaliknya, jika Variabel X2 (WP Badan Terdaftar) mengalami penurunan maka Variabel Y (Realisasi) juga akan mengalami penurunan.

Sedangkan nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0,4 menunjukan hubungan yang cukup kuat dari WP Badan Terdaftar dengan Realisasi, hal ini berarti kenaikan WP Badan Terdaftar yang cukup besar diikuti oleh kenaikan Realisasi yang cukup besar juga. Dan begitu pula sebaliknya, apabila WP Badan Terdaftar  mengalami penurunan yang cukup besar, penurunan tersebut diikuti pula oleh Realisasi.

3.   Analisis Korelasi antara WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)

Dengan menggunakan analisis korelasi sederhana, maka dapat diketahui hubungan antara WP Badan Efektif sebagai variabel bebas (X3) dengan Realisasi (Y) sebagai variabel terikat. Berikut ini adalah perhitungan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi (r) dari WP Badan Efektif terhadap pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa nilai r atau koefisien korelasi yang dihasilkan antara WP Badan Efektif  (X3) dengan Realisasi (Y) pada PT Mayora Indah Tbk untuk periode tahun 1999-2008 adalah sebesar 0,232. Dari hasil ini, maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel X3 (WP Badan Efektif) dengan variabel Y (Realisasi) terdapat hubungan yang positif dan hubungannya lemah. Hubungan positif dalam hal ini berarti terjadi hubungan yang searah antara variabel X3 dengan variabel Y tersebut, apabila variabel X3 (WP Badan Efektif) mengalami kenaikan maka kenaikan tersebut diikuti oleh kenaikan variabel Y (Realisasi) dan begitu pula sebaliknya, jika Variabel X3 (WP Badan Efektif) mengalami penurunan maka diikuti pula dengan penurunan Variabel Y (Realisasi).

Sedangkan nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0,232 menunjukan hubungan yang lemah dari WP Badan Efektif dengan Realisasi, hal ini berarti kenaikan WP Badan Efektif yang cukup besar diikuti oleh kenaikan Realisasi juga akan tetapi kenaikan yang terjadi tidak sebesar kenaikan yang terjadi pada WP Badan Efektif. Dan begitu pula sebaliknya, apabila WP Badan Efektif  mengalami penurunan yang cukup besar, penurunan tersebut diikuti pula oleh Realisasi tetapi penurunan yang terjadi tidak sebesar penurunan yang terjadi pada WP Badan Efektif.

E. Analisis Koefisien Determinan atau Koefisien Penentu pada  KKP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk Periode 2003-2007

Analisis Koefisien Penentu (KP) dilakukan untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel-variabel bebas (X) yang memiliki pengaruh terhadap variabel terikat (Y). Nilai Koefisien Penentu (KP) merupakan kuadrat dari koefisien korelasi (r) kemudian dikalikan dengan 100 %. Berikut perhitungannya.

  1. 1. Analisis besarnya kontribusi SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan nilai r atau koefisien korelasi yang telah didapat antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi yang dihasilkan oleh KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007, yaitu sebesar  0,486 maka dapat diketahui nilai Koefisien Penentu (KP) dari SPT Badan Diterima dengan Realisasi, sebagai berikut :

r           = 0,486

KP       = r² . 100 %

= (0,486)² . 100 %

= 23,6196 %

Sisa     = 100 % – 23,6196  %

= 76,3804 %

Nilai KP dari SPT Badan Diterima adalah 23,6196 % artinya kontribusi SPT Badan Diterima terhadap Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 hanya sebesar 23,6196 %, sedangkan sisanya sebesar 76,3804 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

  1. 2. Analisis besarnya kontribusi WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan nilai r atau koefisien korelasi yang telah didapat antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi yang dihasilkan oleh KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007, yaitu sebesar  0,4 maka dapat diketahui nilai Koefisien Penentu (KP) dari WP Badan Terdaftar dengan Realisasi, sebagai berikut :

r           = 0,4

KP       = (0,4)² . 100 %

= 16 %

Sisa     = 100 % – 16 %

= 84 %

Nilai KP dari WP Badan Terdaftar  adalah 16 % artinya kontribusi WP Badan Terdaftar terhadap Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 hanya sebesar 16 %, sedangkan sisanya sebesar 84 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

  1. 3. Analisis besarnya kontribusi WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan nilai r atau koefisien korelasi antara WP Badan Efektif dengan Realisasi yang dihasilkan oleh KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 yaitu sebesar 0,232 sehingga dapat diketahui Koefisien Penentu (KP) untuk WP Badan Efektif  dengan Realisasi sebagai berikut :

r           = 0,232

KP       = (0,232)² . 100 %

= 5,3824 %

Sisa     = 100 % – 5,3824 %

= 94,6176 %

Nilai KP dari WP Badan Efektif adalah 5,3824 % artinya kontribusi WP Badan Efektif terhadap Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 hanya sebesar 5,3824 %, sedangkan sisanya sebesar 94,6176 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

  1. F. Analisis Pengujian Hipotesis pada  KKP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007

Berdasarkan nilai koefisien korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat, dapat diketahui kuat lemahnya pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya. Namun untuk dapat lebih mengetahui signifikan atau tidaknya hasil analisis korelasi tersebut, maka dapat dilakukan pengujian hipotesis untuk masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat. Hasil pengujian hipotesis adalah sebagai berikut :

  1. 1. Analisis pengujian hipotesis mengenai korelasi antara SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi(Y)

Hipotesis yang ingin dibuktikan melalui penelitian ini diformulasikan dengan hipotesis nol (H0) dan Hipotesis alternatif (Ha) sebagai hipotesis tandingannya yang bersifat berlawanan dengan hipotesis nol. Apabila hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif ditolak, demikian pula sebaliknya jika hipotesis nol ditolak maka hipotesis alternatif diterima.

Adapun langkah-langkah pengujian hipotesis adalah sebagai berikut :

  1. Penentuan Hipotesis

H0 : ρ = 0 :    Tidak ada hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y)

Ha : ρ ≠ 0 :    Ada hubungan yang signifikan  antara SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y).

  1. Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir atau biasa disebut alpha (α) adalah

sebesar 5 % (α = 5 %). Setelah itu dengan melihat tabel maka dilakukan perhitungan sebagai berikut :

α = 0,05

α / 2 = 0,025

n = 5

Db (5-2) = 5 -2 = 3

wilayah kritis atau t tabel (α/2, Db) = t (0,025, 3 ) = 3,182

Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa H0 diterima jika = -t tabel (α/2, Db) < t hitung < t tabel (α/2, Db) dan H0 ditolak jika = t hitung > t tabel (α/2, Db) atau t hitung < – t tabel (α/2, Db). Untuk lebih jelas maka dilakukan pengujian :

H0 diterima jika –3,182 < t hitung < 3,182

H0 ditolak jika t hitung > 3,182 atau t hitung < -3,182

  1. Melakukan uji statistik dengan perhitungan sebagai berikut :

r = 0,486

t hitung       =  r √(n-2) : √ (1- r²)

t hitung       =   (0,486√ (5-2)) : √ (1 – 0,236196 )

t hitung       =  0,963

  1. Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat dilihat bahwa t hitung lebih

kecil daripada wilayah kritis atau dirumuskan sebagai berikut :

t hitung = 0,963 < wilayah kritis = 3,182

Gambar 4.5

Kurva Pengujian Hipotesis

SPT Badan Diterima

H0

3,182              0,963             3,182

( – t tabel ½α )                    ( +t tabel ½α )

Hal ini berarti t hitung berada di daerah penerimaan H0, sehingga H0 diterima dan Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi pada KKP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

  1. 2. Analisis pengujian hipotesis mengenai korelasi antara WP Badan terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)

Hipotesis yang ingin dibuktikan melalui penelitian ini diformulasikan dengan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (Ha) sebagai hipotesis tandingannya yang bersifat berlawanan terhadap hipotesis nol. Apabila hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif ditolak, demikian pula sebaliknya apabila hipotesis nol ditolak maka hipotesis alternatif diterima.

Adapun langkah-langkah pengujian hipotesis adalah sebagai berikut :

  1. Penentuan hipotesis

H0 : ρ = 0 :  Tidak ada hubungan yang signifikan antara  WP Badan  Terdaftar  (X2) dengan Realisasi (Y)

Ha : ρ ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan  antara WP Badan Terdaftar

(X2) dengan Realisasi (Y)

b.  Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir atau yang biasa disebut alpha (α) adalah sebesar 5 % (α = 5 %). Setelah itu dengan melihat tabel maka dilakukan perhitungan sebagai berikut :

α    = 0,05

α/2 = 0,025

n    = 5

df (n-2) = (5 – 2) = 3

Wilayah kritis atau t tabel (α/2, Db) = t (0,025, 3) = 3,182

Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa H0 diterima jika = -t tabel (α/2, Db) < t hitung < t tabel (α/2, Db) dan H0 ditolak jika = t hitung > t tabel (α/2, Db) atau t hitung < – t tabel (α/2, Db). Untuk lebih jelas maka dilakukan pengujian :

H0 diterima jika –3,182 < t hitung < 3,182

H0 ditolak jika t hitung > 3,182 atau t hitung < -3,182

c.   Melakukan uji statistik dengan perhitungan sebagai berikut :

r =  0,4

t hitung       =  r √(n-2) : √ (1- r²)

t hitung       =   (0,4  √ (5-2)) : √ (1 – 0,16)

t hitung       =  0,756

Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat dilihat bahwa t hitung lebih kecil daripada wilayah kritis atau dirumuskan sebagai berikut :

t hitung = 0,756 < wilayah kritis = 3,182

Gambar 4.6

Kurva Pengujian Hipotesis

WP Badan Terdaftar

H0

-3,182            0,756           3,182

( – t tabel ½α)                    ( +t tabel ½α )

Hal ini berarti t hitung berada di daerah penerimaan H0, sehingga H0 diterima dan Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

  1. 3. Analisis pengujian hipotesis mengenai korelasi antara WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)

Hipotesis yang ingin dibuktikan melalui penelitian ini diformulasikan dengan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif sebagai tandingannya yang bersifat berlawanan dengan hipotesis nol. Apabila hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif ditolak, demikian pula sebaliknya bila hipotesis nol ditolak maka hipotesis alternatif diterima.

Adapun langkah-langkah pengujian hipotesis adalah sebagai berikut :

  1. Penentuan hipotesis

H0 : ρ = 0 :       Tidak ada hubungan yang signifikan antara  WP Badan Efektif (X3) dengan realisasi (Y)

Ha : ρ ≠ 0 :       Ada hubungan yang signifikan  antara WP Badan Terdaftar (X3) dengan Realisasi (Y)

b.  Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir atau yang biasa disebut alpha (α)

adalah sebesar 5 % (α = 5 %). Setelah itu dengan melihat tabel tα pada lampiran 3 maka dilakukan perhitungan sebagai berikut :

α    = 0,05

α/2 = 0,025

n    = 5

df (n-2) = (5 – 2) = 3

Wilayah kritis atau t tabel (α/2, Db) = t (0,025, 3) = 3,182

Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa H0 diterima jika = -t tabel (α/2, Db) < t hitung < t tabel (α/2, Db) dan H0 ditolak jika = t hitung > t tabel (α/2, Db) atau t hitung < – t tabel (α/2, Db). Untuk lebih jelas maka dilakukan pengujian :

H0 diterima jika –3,182 < t hitung < 3,182

H0 ditolak jika t hitung > 3,182 atau t hitung < -3,182

c.   Melakukan uji statistik dengan perhitungan sebagai berikut :

r =  0,232

t hitung       =  r √(n-2) : √ (1- r²)

t hitung       =   (0,232 √ (5-2)) : √ (1 – 0,053824)

t hitung       =  0,424

d.  Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat dilihat bahwa t hitung lebih

kecil daripada wilayah kritis atau dirumuskan sebagai berikut :

t hitung = 0,424 < wilayah kritis = 3,182

Gambar 4.7

Kurva Pengujian Hipotesis

WP Badan Efektif

H0

-3,182           0,424           3,182

( – t tabel ½α)                    ( +t tabel ½α)

Hal ini berarti t hitung berada di daerah penerimaan H0, sehingga H0 diterima dan Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara WP Badan Efektif dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

G.  Analisis Keseluruhan Perhitungan Koefisien Korelasi, Koefisien Determinan dan Pengujian Hipotesis pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007

Pada analisis berikut ini akan ditinjau hubungan masing-masing variabel bebas yaitu SPT Badan Diterima (X1), WP Badan Terdaftar (X2), dan WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 melalui perhitungan dan analisis yang telah dilakukan secara keseluruhan.

  1. 1. Analisis SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui nilai koefisien korelasi atau r antara SPT Badan diterima (X1) dengan Realisasi (Y) sebesar 0,486 artinya hubungan antara SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y) adalah positif namun cukup kuat. Hubungan yang positif berarti perubahan SPT Badan Diterima (X1) mengakibatkan perubahan pada Realisasi (Y). Namun karena hubungannya cukup kuat, maka perubahan terhadap Realisasi tersebut tidak sebesar perubahan yang terjadi pada SPT Badan Diterima yang disampaikan.

Untuk mengetahui kontribusi SPT Badan Diterima (X1) terhadap Realisasi (Y) dapat dilihat dari nilai Koefisien Penentu (KP) yang dicari dengan mengkuadratkan nilai koefisien korelasi (r) kemudian dikalikan dengan 100 %. Dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,486 maka besarnya koefisien penentu adalah 23.6196  %. Hal ini berarti kontribusi SPT Badan Diterima terhadap Realisasi hanya sebesar 23.6196 % sedangkan sisanya sebesar 76.3804 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Pada pengujian hipotesis didapat nilai t hitung sebesar 0.963 yang berada di dalam daerah penerimaan H0, sehingga H0 diterima sedangkan Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

  1. 2. Analisis WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat diketahui nilai koefisien korelasi atau r antara WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y) sebesar 0,4. Dari hasil ini, maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel X2 (WP Badan Terdaftar) dengan variabel Y (Realisasi) terdapat hubungan yang positif dan hubungannya cukup kuat. Hubungan positif dalam hal ini berarti terjadi hubungan yang searah antara variabel X2 dengan variabel Y tersebut, apabila variabel X2 (WP Badan Terdaftar) mengalami kenaikan maka kenaikan tersebut diikuti pula oleh variabel Y (Realisasi) dan begitu pula sebaliknya, jika Variabel X2 (WP Badan Terdaftar) mengalami penurunan maka Variabel Y (Realisasi) juga akan mengalami penurunan.

Sedangkan nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0,4 menunjukan hubungan yang cukup kuat dari WP Badan Terdaftar dengan Realisasi, hal ini berarti kenaikan WP Badan Tedaftar yang cukup besar diikuti oleh kenaikan harga saham yang cukup besar juga. Dan begitu pula sebaliknya, apabila WP Badan Terdaftar mengalami penurunan yang cukup besar, penurunan tersebut diikuti pula oleh Realisasi.

Untuk mengetahui kontribusi WP Badan Terdaftar (X2) terhadap Realisasi (Y) dapat dilihat dari Koefisien Penentu (KP) yang dicari dengan mengkuadratkan nilai r  kemudian dikalikan dengan 100 %. Dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,4 maka besarnya koefisien penentu adalah 16 %. Hal ini berarti kontribusi WP Badan Terdaftar terhadap Realisasi sebesar 16 % sedangkan sisanya sebesar 84 %pengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Pada pengujian hipotesis didapat nilai t hitung sebesar 0,756 yang berada di daerah penerimaan H0, sehingga Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

  1. 3. Analisis WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui nilai koefisien korelasi atau r antara WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) sebesar 0,232. Hal ini artinya hubungan antara WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) adalah positif dan hubungannya lemah. Hubungan positif dalam hal ini berarti terjadi hubungan yang searah antara variabel X3 dengan variabel Y tersebut, apabila variabel X3 (WP Badan Efektif) mengalami kenaikan maka kenaikan tersebut diikuti oleh kenaikan variabel Y (Realisasi) tetapi tidak sebesar WP Badan Efektif dan begitu pula sebaliknya, jika Variabel X3 (WP Badan Efektif) mengalami penurunan maka diikuti pula dengan penurunan Variabel Y(Realisasi) tetapi tidak sebesar WP Badan Efektif.

Namun karena nilai koefisien korelasi yang dihasilkan sebesar 0,232 menunjukan hubungan yang lemah, maka perubahan terhadap Realisasi tersebut tidak sebesar perubahan yang terjadi pada WP Badan Efektif yang dihasilkan.

Untuk mengetahui kontribusi WP Badan Efektif (X3) terhadap Realisasi (Y) dapat dilihat dari nilai Koefisien Penentu (KP) yang dicari dengan mengkuadratkan nilai koefisien korelasi (r) kemudian dikalikan dengan 100 %. Dengan nilai r sebesar 0,232 maka besarnya koefisien penentu adalah 5,3824  %, yang berarti kontribusi WP Badan Efektif terhadap Realisasi sebesar 1,77 % sedangkan sisanya sebesar 94,6176  % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Pada pengujian hipotesis didapat nilai t hitung sebesar 0,379 yang berada pada daerah penerimaan H0, sehingga Ha ditolak. H0 diterima berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara WP Badan Efektif dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007.

  1. H. Analisis Perhitungan Regresi Berganda pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat

Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel independent (X1, X2 dan X3 ) dengan variabel dependent (Y).  Analisis ini dilakukan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independent dengan variabel dependent, apakah masing-masing variabel independent berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependent apakah nilai variabel independent mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio. Seperti telah diuraikan diatas, jika pada kasus regresi linier berganda terhadap satu variabel dependent (Y) dan lebih dari satu variabel independent (X).

Berikut ini adalah hasil perhitungan regresi berganda yang didapat dengan menggunakan Statistical Package Social Science atau PSS Versi 12.0 pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat:

Tabel  4.5

Tabel Regresi Linier Berganda

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 24522.895 41817.658 .586 .559
WP_Badan_Terdaftar -8.128 7.610 -.265 -1.068 .289
SPT_Badan_Diterima 119.647 41.415 .786 2.889 .005
WP_Badan_Efektif -11.382 14.192 -.103 -.802 .425

a  Dependent Variable: Realisasi

  1. 1. Persamaan Regresi

Y  = 24.522,895 – 8,128 X1 + 119,64X2 – 11,382 X3

Persamaan regresi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut

  1. Konstanta sebesar -24522,895 artinya jika SPT Badan Diterima (X1), WP Badan Terdaftar (X2) dan WP Badan Efektif (X3) nilainya adalah 0, maka Realisai (Y) nilainya adalah Rp 24522,895. Koefisien berikut bernilai negatif artinya terjadi hubungan yang tidak searah antara Realisasi dengan variabel independent.
  2. Koefisien regresi variabel SPT Badan Diterima (X1) sebesar -8,128 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan SPT Badan Diterima mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 8.128. Koefisien  bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi, semakin naik SPT Badan Diterima (X1) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.
  3. Koefisien regresi variabel WP Badan Terdaftar (X2) sebesar 119,647 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan WP Badan Terdaftar mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 119,647. Koefisien  bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi, semakin naik WP Badan Terdaftar (X2) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.
  4. Koefisien regresi variabel WP Badan Efektif (X3) sebesar -11,382  artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan WP Badan Efektif mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 11,382. Koefisien  bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara WP Badan Efektif dengan Realisasi, semakin naik WP Badan Efektif (X3) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.
  1. 2. Analisis Determinasi (R²)

Analisis determinasi dalam regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui persentase variasi pengaruh variabel independent (X) secara serentak terhadap variabel dependen (Y). Koefisien ini menunjukan seberapa besar persentase variasi variabel independen yang digunakan, dalam model mampu menjelaskan variasi variabel dependen. R² sama dengan 0, maka tidak ada sedikitpun persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independent terhadap variabel dependen atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model tidak menjelaskan sedikitpun variasi variabel dependen. Sebaliknya jika  R² sama dengan 1 maka persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap dependen adalah sempurna atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model menjelaskan 100 % variasi variabel dependen.

Dari hasil analisis regresi dalam bentuk output model summary yang disajikan sebagai berikut:

Tabel  4.6

Tabel Hasil Analisis Determinasi

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .502(a) .252 .220 155376.530

A Predictors: (Constant), WP_Badan_Efektif, WP_Badan_Terdaftar, SPT_Badan_Diterima

Berdasarkan hasil output pada tabel 4.5 diperoleh angka R sebesar 0,502. Hal ini menunjukan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara rasio profitabilitas bahwa terjadi hubungan yang kuat antara SPT Badan Diterima (X1), WP Badan Terdaftar (X2) dan WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y). Angka R² ( R Squere) sebesar 0,252 atau 25,2 %. Hal ini menunjukan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (X1, X2, dan X3) terhadap variabel dependen (Y) sebesar 25,2 % atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model (X1, X2, dan X3) mampu menjelaskan sebesar 74.8 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini.

Adjustted R Square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini selalu lebih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki harga negatif. Untuk regresi dengan lebih dari dua variabel bebas digunakan adjusted R Square sebagai koefisien determinasi. Adjusted R Square sebesar 0,220.

Standard Error of Estimate (SEE) adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model regresi dalam memprediksikan nilai. Dari hasil regresi yang di dapat adalah 155.376,530 atau Rp 155.376,530 (dalam satuan Realisasi). Ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi Realisasi sebesar Rp 155.376,530.

  1. 3. Uji Koefisien Regresi Secara Bersama-sama (Uji F)

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen (X1, X2, dan X3) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Y). Atau untuk mengetahui apakah model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau tidak. Signifikan artinya hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk populasi (dapat digeneralisasikan).

Tabel  4.7

Tabel Hasil Uji F

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 576803423816.123 3 192267807938.708 7.964 .000(a)
Residual 1714072482780.146 71 24141865954.650
Total 2290875906596.269 74

a  Predictors: (Constant), WP_Badan_Efektif, WP_Badan_Terdaftar, SPT_Badan_Diterima

b  Dependent Variable: Realisasi

Hipotesis pertama dalam penelitian ini menduga bahwa SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Badan Efektif secara simultan berpengaruh terhadap Realisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat. Sedangkan formulasi hipotesis H0 dan H1 adalah sebagai berikut :

H0 : b1 = b2 = 0   SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, Wajib Pajak Efektif secara simultan tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : b1 ≠ b2 ≠ 0     SPT Badan Diterima, Wajib Pajak Badan Terdaftar, EWajib Pajak Badan Efektif secara simultan berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

Untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut dilakukan uji F dengan tingkat signifikansi 0,05 ( 5% ). Adapun rumus yang digunakan adalah :

SSR

k

F =              SSE

n – ( k + 1 )

Dimana :

SSR = Sum of Square Regression ( jumlah regresi

kuadrat )

SSE = Sum of Square Error ( jumlah error

kuadrat )

k      = banyaknya variable bebas

n      = ukuran sample

Penarikan kesimpulan yang digunakan adalah :

–         Jika F hitung > F tabel ,  atau p < a maka H0 ditolak dan H1 diterima.

–         Jika F hitung < F tabel , atau p > a maka H0 diterima dan H1 ditolak.

Dengan menggunakan a = 5% , df = k = 2 dan df2 = V1 =  k -1 = 5 – 1 = 4, V2 = k(n-1) = 5(5-1) = 20  maka diperoleh nilai F0.05; 4 ; 20 = 2,87 atau  F tabel = 2,87. berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan program SPSS 12.0 for Windows diperolah nilai F hitung sebagai berikut :

Tabel  4.8

Tabel Hasil Uji F

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 576803423816.123 3 192267807938.708 7.964 .000(a)
Residual 1714072482780.146 71 24141865954.650
Total 2290875906596.269 74

a  Predictors: (Constant), WP_Badan_Efektif, WP_Badan_Terdaftar, SPT_Badan_Diterima

b  Dependent Variable: Realisasi

Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa F hitung = 7,964 dengan P = 0,000. Oleh karena P < 0,05 maka Ha diterima secara bersama-sama variabel bebas yaitu SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar, dan WP Badan Efektif ada pengaruh terhadap Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarat Pusat.

Gambar 4.8

Kurva Pengujian Hipotesis

Anova

H0

-7,964           2,87             7,694

( – t tabel ½α)                ( +t tabel ½α)

  1. 4. Uji Koefisien Regresi secara Parsial (Uji t)

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah model regresi variabel independen (X1, X2, dan X3) setara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y).

Hipotesis selanjutnya dalam penelitian ini menduga bahwa terdapat pengaruh secara parsial antara Penagihan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Badan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat. Sedangkan formulasi hipotesis H0 dan H1 adalah sebagai berikut :

H0 : b1 = 0  Secara parsial SPT Badan Diterima tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : b1 ≠ 0    Secara parsial SPT Badan Diterima berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : b2 = 0    Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : b2 ≠ 0  Secara parsial Wajib Pajak Badan Terdaftar berpengaruh   terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : bз = 0      Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif tidak berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

H0 : bз ≠ 0  Secara parsial Wajib Pajak Badan Efektif berpengaruh terhadap Realisasi pada KPP  Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat.

Untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut dilakukan uji t dengan tingkat signifikansi 0,05 ( 5% ). Adapun rumus yang digunakan adalah :

Dimana :

b             =    koefisien regresi

SE ( b )   =    standard error untuk b

t =      b

SE ( b )

Penarikan kesimpulan yang digunakan adalah :

–         Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.

–         Jika F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak

Tabel  4.9

Tabel Hasil Uji T

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 24522.895 41817.658 .586 .559
WP_Badan_Terdaftar -8.128 7.610 -.265 -1.068 .289
SPT_Badan_Diterima 119.647 41.415 .786 2.889 .005
WP_Badan_Efektif -11.382 14.192 -.103 -.802 .425

a  Dependent Variable: Realisasi

Pengujian Koefisien Regresi

  1. SPT Badan Diterima

Berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,289. Karena P > 0.05 maka H0 diterima berarti SPT Badan Diterima secara parsial tidak berpengaruh terhadap Realisasi.

  1. WP Badan Terdaftar

Berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,005. Karena P < 0.05 maka H0 ditolak berarti WP Badan Terdaftar secara parsial  berpengaruh terhadap Realisasi.

  1. WP Badan Efektif

Berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,425. Karena P> 0.05 maka H0 diterima berarti WP Badan Efektif secara parsial tidak berpengaruh terhadap Realisasi.

I.  Analisis Keseluruhan Perhitungan Regresi Linier Berganda untuk KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat

Dalam analisis berikut ini akan ditinjau hubungan masing-masing variabel bebas yaitu SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar dan WP Badan Efektif dengan Realisasi pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007 melalui peritungan dan analisis yang telah dilakukan secara keseluruhan.

  1. 1. Analisis SPT Badan Diterima (X1) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan analisis perhitungan regresi linier berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat, dapat diketahui nilai koefisien regresi  variabel SPT Badan Diterima (X1) sebesar -8,128 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan SPT Badan Diterima mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 8.128 koefisien  bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara SPT Badan Diterima dengan Realisasi, semakin naik SPT Badan Diterima (X1) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.

Sedangkan berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,289. Karena P > 0.05 maka H0 diterima berarti SPT Badan Diterima secara parsial tidak berpengaruh terhadap Realisasi.

  1. 2. Analisis WP Badan Terdaftar (X2) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan analisis perhitungan regresi linier berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat, dapat diketahui nilai koefisien regresi  variabel WP Badan Terdaftar (X2) sebesar 119.647 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan WP Badan Terdaftar mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 119.647. Koefisien  bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara WP Badan Terdaftar dengan Realisasi, semakin naik WP Badan Terdaftar  (X2) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.

Sedangkan berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,005. Karena P < 0.05 maka H0 diterima berarti WP Badan Terdaftar  secara parsial berpengaruh terhadap Realisasi

  1. 3. Analisis WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y)

Berdasarkan analisis perhitungan regresi linier berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat, dapat diketahui nilai koefisien regresi  variabel WP Badan Efektif (X3) sebesar -11.382 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan WP Badan Efektif mengalami kenaikan 1 % maka Realisasi akan mengalami peningkatan sebesar Rp 11.382. Koefisien  bernilai positif artinya terjadi hubungan yang setara antara WP Badan Efektif dengan Realisasi, semakin naik WP Badan Efektif (X3) maka semakin meningkat juga Realisasi (Y) dan begitu pula sebaliknya.

Sedangkan berdasarkan output yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa P = 0,051. Karena P> 0.05 maka H0 diterima berarti WP Badan Efektif secara parsial tidak berpengaruh terhadap Realisasi.

BAB  V

PENUTUP

  1. A. Kesimpulan

Berdasarkan data, perhitungan dan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Dalam penulisan ilmiah ini penulis menggunakan SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar dan WP Badan Efektif untuk mengetahui pengaruh tingkat kepatuhan terhadap Realisasi. Berdasarkan perhitungan dan analisis mengenai korelasi yang telah dilakukan pada KKP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat untuk periode 2003-2007, dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan yang terdiri dari SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar dan WP Badan Efektif memiliki hubungan dengan Realisasi. Tetapi pada SPT Badan Diterima dan WP Badan Terdaftar hubungan yang terjadi cukup besar, karena koefisien korelasi yang dihasilkan untuk SPT Badan Diterima sebesar 0,486 dan koefisien korelasi yang dihasilkan pada WP Badan Terdaftar sebesar 0,4. Sedangkan untuk WP Badan Efektif  menghasilkan nilai korelasi sebesar 0,232 sehingga hubungan yang terjadi cukup kuat berarti kenaikan SPT Badan Diterima yang cukup besar akan diikuti oleh kenaikan Realisasi yang cukup besar pula.

Dan berdasarkan uji hipotesis mengenai korelasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa untuk SPT Badan Diterima, WP Badan Terdaftar dan WP badan Efektif berada pada daerah penerima H0. Yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara SPT Badan Diterima (X1), WP Badan Terdaftar (X2), dan WP Badan Efektif (X3) dengan Realisasi (Y) pada KKP DKI Jakarta khususnya Jakarat Pusat untuk periode 2003-2007.

  1. Dalam analisis perhitungan regresi berganda yang telah dilakukan pada KPP DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat periode 2003-2007 pada pengujian koefisien regresi dapat disimpulkan bahwa  F hitung yang diperoleh sebesar 7,694 dengan P = 0,000. Oleh karena P > 0,05 maka H0 diterima yang berarti ada pengaruh secara signifikan antara variabel bebas yaitu SPT Badan Diterima (X1), WP Badan Terdaftar (X2), dan WP Badan Efektif (X3) terhadap Realisasi pada KPP DKI Jakarta Pusat.

Untuk pengujian koefisien regresi secara parsial yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa pada SPT Badan Diterima memiliki nilai probabilitas sebesar P = 0,289 > 0,05 dan WP Badan Efektif memiliki nilai probabilitas sebesar 0,425 > 0,05 sehingga kedua variabel tersebut berada didaerah penerimaan H0 yang berarti SPT Badan Diterima dan WP Badan Efektif tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham. Sedangkan pada WP Badan Terdaftar memiliki nilai probabilitas sebesar P = 0,005 < 0,05 sehingga  berada di daerah penolakan H0 yang berarti bahwa WP Badan Terdaftar terhadap harga saham.

  1. B. Saran

Setelah melakukan penelitian dan menganalisis data penelitian serta menyimpulkan data-data yang diperoleh, maka penulis mengajukan beberapa saran yaitu:

  1. Saran Teoritis

Bagi para peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis, hendaknya melakukan tinjauan penelitian terhadap faktor lain seperti, tingkat kepatuhan wajib pajak badan dalam ketetapan menyampaikan SPT nya kepada KPP karena tingkat kepatuhan juga bisa diukur dari tepatnya Wajib Pajak badan menyampaikan SPT sesuai dengan ketetapan yang berlaku. Sehingga dapat memberi tambahan bagi khasanah perkembangan ilmu akuntansi.

  1. Saran Praktis

Tingkat kepatuhan dii dapat dari berbagai faktor hal tersebut perlu di perhatikan agar Wajib Pajak badan dapat lebih patuh untuk membayaran tunggakan pajak yang dikenakan terhadap Wajib Pajak tersebut sehingga apa yang sudah ada saat ini menjadi lebih baik lagi.

Disarankan bagi Direktorat Jendarl Pajak dan kantor Pelayanan Pajak hendaknya membantu dalam menginformasi hal-hal yang berkaitan dengan pajak sehingga Wajib Pajak mengetahui informasi tersebut secara cepat, tepat, dan efisien. Sehingga semua Wajib Pajak yang terdaftar bisa tepat waktu menyampaikan SPTnya kepada kantor pelayanan pajak setempat dan yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak bisa secepatnya untuk mendaftar.